Berbahayakah kalau kita salah meyakini ajaran nabi palsu?
Ku kutip dari sebuah pertanyaan di yahoo answer, saya anggap topik tentang perselisihan agama, pencarian kebenaran, adalah topik menarik.
Ingat pesan Yesus kepada kita melalui murid-muridnya. beliau sering berkata...
"akan ada nabi2 palsu yang menyesatkan, dan akan ada kepercayaan baru yang akan menyesatkan..."
"mereka akan terus berdatangan, dan pengaruhnya akan memenuhi seluruh bumi kita sampai masa pembinasaan akan dijatuhkan kepada mereka..."
"Ciri-ciri nabi yang sesat adalah : bersaksi dusta terhadap agama Allah demi kekuasaan semata untuk menikmati urusan duniawi di dunia ini..."
"Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas." (Matius 7 : 15)
"Sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di TENGAH-TENGAH UMAT ALLAH, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan MENYANGKAL PENGUASA YANG TELAH MENEBUS mereka dan dengan jalan demikian segera MENDATANGKAN KEBINASAAN atas diri mereka" (2 petrus 2:1)
"Tetapi barangsiapa menyangkal Aku(Yesus) di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku(Allah) yang di sorga" (Matius 10 : 33)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ternyata tindakan preventif dari agama-agama samawi itu memiliki kemiripan satu dengan yang lain. Selain menganggap bahwa agama sendiri yang paling baik, lalu mempertahankan kemurnian ajaran, serta mengambil penjagaan dengan berhati-hati pada fitnah dari nabi-nabi palsu. Itu berlaku di agama yahudi, kristen dan islam.
????????? ????????? ??? ???????? ??????????? ?????????? ????????? ???????? ??????? ??????? ??????? ??????? ????????????? ??? ??????? ??????? .
“Sesungguhnya akan ada tiga puluh orang pendusta di tengah umatku. Mereka semua mengaku nabi. Padahal, aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud (3710), At-Tirmidzi (2145), Ibnu Majah (3942), Ahmad (21361), Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwwah (2901), Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ (249), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (8509), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (7361), dan Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin (2623); dari Tsauban bin Bujdud RA. At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.” Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun mereka berdua tidak mengeluarkannya.” Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Tahqiq Misykat Al-Mashabih (5406), Shahih Sunan Abi Dawud (4252), Shahih Sunan At-Tirmidzi (2219), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (2654).